Khutbah Idul Adha: Hikmah Qurban - Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Khutbah Idul Adha: Hikmah Qurban – Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. yang disiarkan secara dari Lapangan SDIT Cahaya Sunnah, Komplek Rodja, Kp. Tengah, Cileungsi pada Kamis, 10 Dzulhijjah 1436 / 24 September 2015.
Khutbah Idul Adha: Hikmah Qurban – Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه
قال الله تعالى فى كتابه الكريم، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
وقال تعالى، يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّـهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
وقال تعالى، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ، فإِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
Ummatal Islam,
Hari ini seluruh umat Islam di dunia merayakan sebuah perayaan yang agung. Yaitu perayaan Idul Adha. Mengingatkan kepada kita sebuah kisah yang besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan di dalam Al-Qur’an. Kisah penyembelihan yang agung, penyembelihan yang dilakukan oleh Nabi dan kekasih Allah -yaitu Nabi Ibrahim ‘Alaihish Shalatu was Salam- yang diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya, anak yang telah ia tunggu bertahun-tahun. Namun ternyata ketika diberikan oleh Allah anak, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya.
Hati siapa yang tidak akan merasa bersedih ketika ia diperintahkan untuk menyembelih anak yang paling ia sayangi? Hati siapa yang tidak akan merasa berat menghadapi perintah yang sangat pahit seperti itu?
Namun itulah saudaraku..
Keimanan yang berbicara, ketundukan dan kepatuhan (taslim) yang sangat sempurna kepada Allah Rabbul Izzati wal Jalalah. Ketika Nabi Ibrahim mengemukakan mimpinya itu kepada anaknya yang bernama Ismail:
إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ
“Wahai anakku, aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelih engkau, bagaimana pendapatmu, nak?” (QS. Ash-Shaffat[37]: 102)
Mimpi para Nabi adalah wahyu.
Subhanallah.. Dengarkan jawaban Nabi Ismail, seorang anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya, seorang anak yang sangat tunduk dan patuh kepada RabbNya.
Apa jawabannya?
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّـهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Wahai ayahku, lakukan saja apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan mendapati aku insyaAllah termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat[37]: 102)
Subhanallah.. Kisah yang sangat agung, saudaraku.. Ini menggambarkan betapa Ibrahim dan Ismail adalah dua yang sangat tunduk kepada Allah.
Itulah yang diinginkan. Kita sebagai seorang muslim yang mengatakan:
أَسْلَمْتُ وَجْهِىَ لِلَّـهِ
“Aku Islam kepada Allah.” (QS. Ali-Imran[3]: 20)
Islam yang artinya menyerahkan diri kepada Allah dengan ketundukan dan kepatuhan kita kepada Allah. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah bahwa tidak akan sempurna keimanan seorang hamba sampai ia taslim. Allah berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴿٦٥﴾
“Tidak, demi Rabbmu, mereka tidak beriman sampai mereka berhakim kepadamu -wahai Muhammad- dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak mendapatkan dalam hati mereka rasa berat untuk menerima keputusanmu, kemudian mereka taslim (menerima, menyerahkan dirinya kepada Allah dengan sebenar-benarnya penyerahan).” (QS. An-Nisa[4]: 65)
Subhanallah..
Setiap kita yang mengatakan dirinya Islam, yang mengatakan dirinya beriman, pasti diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi kita tidak akan diuji seperti ujian Nabi Ibrahim, kita tidak akan diuji seperti ujian Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena ujian seorang hamba disesuaikan dengan keimanan mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنِبْيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ
”Orang yang paling keras cobaannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang Shalih, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya.” (HR. Tirmidzi)
Namun ketahuilah saudaraku, ketika kita mengucapkan “kami beriman, kami Islam.” Jangan kita anggap bahwa Allah tidak akan menguji kita. Pasti kita diuji dengan perintahNya, dengan laranganNya, dengan musibah-musibah yang menimpa kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman:
الم ﴿١﴾ أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّـهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ﴿٣﴾
“Alif laam miim. Apakah manusia mengira akan dibiarkan berkata ‘kami beriman’ sementara dia tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum kalian, dengan ujian itu Kami mengetahui siapa yang jujur keimanannya dan siapa yang dusta.” (QS. Al-Ankabut[29]: 1-3)
Ummatal Islam,
Allah memerintahkan kita segala macam perintah, semua ujian untuk kita, agar Allah melihat siapa yang mau tunduk kepadaNya dan siapa yang membangkang dan bersombong diri. Terkadang ujian Allah adalah perkara sesuatu yang sangat kita tidak sukai. Yang terkadang seorang hamba dengan ujian-ujian itu timbul di hatinya berburuk sangka kepada Rabbnya. Itulah kadar keimanan dia, saudaraku.
Ummatal Islam,
Nabi Ibrahim ‘Alaihish Shalatu was Salam ketika mengatakan kepada anaknya, “Hai anakku, aku melihat dalam mimpiku aku menyembelih engkau, bagaimana pendapatmu?” Subhanallah, jawaban Nabi Ismail tidak berkata, “Mengapa hai Ayahku? Mengapa begini? Mengapa begitu?” Tidak! Nabi Ismail berkata:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
“Hai ayahku, lakukan apa yang diperintahkan oleh Rabbmu.”
Bayangkan dan coba bandingkan dizaman sekarang. Berapa banyak kaum muslimin yang mengatakan dirinya Islam, tapi ketika diperintahkan oleh Allah dia berkata, “Mengapa Allah memerintahkan begini? Apa alasan Allah memerintahkan begini? Mengapa Allah melarang itu dan ini?”
Subhanallah.. Tidak demikian seorang muslim!
Seorang muslim ketika diperintahkan oleh Allah, kewajiban dia adalah sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami taat) -baik dia tahu hikmahnya ataupun ia tidak mengetahui hikmahnya.
Subhanallah..
Nabi Ismail berkata:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّـهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Wahai ayahku, lakukan saja apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan mendapati aku insyaAllah termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat[37]: 102)
Ini menunjukkan bahwa kita dalam beriman sangat membutuhkan kesabaran. Sabar dalam melaksanakan perintah Allah, sabar untuk meninggalkan larangan-larangan Allah, sabar untuk menghadapi berbagai macam musibah yang mendatangi kehidupan kita. Wallahi tanpa kesabaran kita tidak akan bisa beriman kepada Allah. Ali bin Abi Thalib berkata:
الصبر في الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد.
“Kesabaran dalam keimanan seperti kepala untuk badan kita”
Sebagaimana badan tidak akan hidup tanpa kepala, imanpun tidak akan pernah hidup tanpa kesabaran.
Mendirikan shalat, kita butuh kesabaran. Allah berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Perintahkan keluargamu untuk shalat dan sabarlah di atas shalat.” (QS. Thaha[20]: 132)
Untuk melaksanakan puasa, haji, demikian pula perintah-perintah Allah, demikian pula meninggalkan larangan-larangan, itu semua butuh kepada kesabaran. Tanpa kesabaran, kita akan terseret di dalam jurang kenistaan. Tanpa kesabaran, kita akan mudah untuk mengikuti perintah syaitan.
Wallahi.. Tanpa kesabaran, kita tidak akan sabar untuk menaati Ar-Rahman.
Ummatal Islam..
Oleh karena itulah Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٢٠٠﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan jagalah kesabaran kalian, kuatkan kesabaran kalian dan jagalah ditapal batas dan bertakwalah kepada Allah agar kalian menjadi orang-orang yang beruntung.”
Di sini Allah menyebutkan bahwa keberuntungan itu kita dapatkan disaat kita bersabar kemudian menguatkan kesabaran kita dan terus bersabar berjaga ditapal batas, menjaga amalan-amalan kita. Jangan sampai amalan kita kemudian dimasuki oleh riya atau amalan kita dimasuki oleh sesuatu yang akhirnya amalan itu tidak berbuah hasil dan ketakwaan kepada Allah Rabbul Izzati wal Jalalah.
Ummatal Islam..
Maka setiap kita untuk memikirkan diri kita sendiri. Sejauh manakah ketaatan kita kepada Allah? Sejauh mana taslim kita untuk mengucapkan sami’na wa atha’na kepada Allah.
Demi Allah saudaraku, tidak ada yang paling menghancurkan jiwa sami’na wa atha’na kecuali dua perkara; yang pertama ittibaul hawa (mengikuti hawa nafsu dan syahwat), dan yang kedua hubbud dunya (mencintai dunia).
Lihatlah sebuah kisah -yang mungkin sering kita mendengarnya- yang terjadi di zaman Nabi Musa ‘Alaihish Shalatu was Salam. Ia seorang yang bernama Bal’am. Seorang laki-laki yang Allah ajarkan kepadanya ayat-ayatNya. Seorang laki-laki yang telah menguasai taurat. Diajarkan oleh Allah ayat-ayatNya, namun apa yang terjadi? Ia tinggalkan ayat-ayat Allah itu. Ia lebih memilih kehidupan dunia. Maka Allah pun kemudian mengisahkan kisah si Bal’am itu dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ ﴿١٧٥﴾
“Bacakan kepada mereka Hai Muhammad tentang berita orang yang Kami ajarkan ayat-ayat Kami kepadanya lalu kemudian dia lepas dari ayat-ayat Kami, lalu setan pun mengikutinya dan jadilah ia orang-orang yang tersesat jalan.” (QS. Al-A’raf[7]: 175)
Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَـٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
“Kalaulah Kami kehendaki, Kami akan angkat derajatnya dengan ayat-ayat Kami itu. Akan tetapi sayang -kata Allah- dia mengikuti hawa nafsunya dan lebih condong kepada kehidupan dunia.”
Akhirnya dia tinggalkan ayat Allah. Akhirnya ia buang ayat Allah di belakang punggungnya. Makanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَ فُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ
“Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ahmad)
Berapa banyak kaum muslimin yang tidak peduli dengan agamanya demi mendapatkan dunianya, demi mendapatkan kedudukannya, demi mendapatkan hartanya? Berapa banyak kaum muslimin sibuk dengan memikirkan kedudukannya? Dia tidak peduli lagi apakah agama Allah itu diganggu atau tidak. Yang terpenting saya bisa mendapatkan kedudukan, saya bisa mendapatkan harta. Wallahi.. Orang seperti ini tentu tidak lebih bahaya daripada serigala.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ ، وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepaskan pada sekelompok kambing itu lebih berbahaya daripada orang yang sebegitu tamak terhadap harta dan kedudukan. Dan itu bisa menghancurkan agamanya.” (HR. Tirmidzi)
Ummatal Islam..
Kewajiban kita saudaraku, sadarilah bahwa kita adalah hamba Allah yang diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada Allah. Sadarilah bahwa kita akan kembali kepada Allah, kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Wallahi, setiap kita jangan berkata “saya sudah beriman, saya insyaAlah akan istiqamah sampai akhir hayat kita.”
Kita tidak pernah tahu kita akan mati di atas apa? Hari ini mungkin bisa kita beriman kepada Allah. Hari ini mungkin kita bisa menaati Allah. Tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Berapa banyak orang-orang yang gugur di tengah jalan? Menghadapi ujian ternyata ia tidak lulus padanya. Berapa banyak orang-orang yang tadinya beriman kepada Allah, ternyata Allah putarkan hatinya. Allah balikan hatinya, akhirnya ia lebih condong kepada kekufuran dan kesesatan.
Jangan kita menganggap bahwasannya kita ini sudah banyak amalannya, “Saya ini sudah banyak ilmunya, tidak mungkin saya tersesat.” Tidak! Wallahi, contoh-contoh terlalu banyak. Kita mendengar ada seorang Kyai yang dia lulusan Mekah, dia belajar di negeri sana, dia mempelajari tentang Islam dan iman. Tapi Subhanallah, kemudian berubah dan diputar oleh Allah hatinya. Ia malah melecehkan Islam, melecehkan jenggot, melecehkan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka dari itulah saudaraku, tiada lain harapan kita kepada Allah berucap:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai yang membolak-balikkan hati, kuatkan hatiku untuk selalu tegar diatas agamaMu.”
Ini yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minta kepada Allah, ini yang selalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ucapkan.
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ القُلُوبِ صرِّفْ قُلوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Wahai yang memalingkan hati, palingkan hati kami untuk senantiasa menaatimu ya Rabbal ‘Alamin.”
Itu yang selalu kita minta, saudaraku..
Jiwa sami’na wa atha’na, itu yang selalu kita pupuk dalam hati-hati kita. Kemudian kita pun diminta kesabaran. Karena saudaraku, tidak ada pemberian yang paling baik, yang paling luas, yang Allah berikan kepada seorang hamba dari kesabaran. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ مِنْ عَطَاءٍ خَيْرٌ وَأَوْسَعُ مِنَ الصَّبْرِ
“Tidaklah seorang hamba diberikan pemberian yang paling baik dan yang paling luas dari kesabaran.”
Subhanallah.. Bila Anda diberikan kesabaran oleh Allah untuk menaati Allah, untuk menjauhi larangan Allah, kemudian untuk mendapatkan musibah, maka pujilah Allah. Lalu mintalah kepada Allah istiqamah agar kita diwafatkan dalam iman dan Islam. Nabi Yusuf saja berkata:
تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
“Ya Allah wafatkan aku dalam keadaan Islam dan masukkan aku termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Yusuf[12]: 101)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberikan kepada kita istiqamah. Semoga Allah memberikan kepada kita kekuatan untuk selalu mendengar dan taat kepadaNya, mematuhi perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita semuanya kesabaran, demikian pula ketakwaan, demikian pula keikhlasan, sehingga kita termasuk orang-orang yang bisa istiqamah sampai akhir hayatnya.
أقول قولي هذا
سبحانك اللّهم وبحمْدك ، أشهد أن لا إله إلاّ أنْت ، أستغفرك وآخر دعواهم أن الحمد لله رب العالمين
Download MP3 Khutbah Idul Adha: Hikmah Qurban – Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Podcast: Play in new window | Download
Jangan lupa untuk ikut membagikan link download kajian ini ke Facebook, Twitter, dan Google+. Semoga bisa menjadi pembuka pintu kebaikan bagi orang lain.
Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com
Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :
Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv
Pencarian: teks khutbah idul adha, khutbah idul adha terbaik, khutbah idul adha tentang qurban, materi khutbah idul adha, contoh khutbah idul adha singkat, khutbah idul adha singkat, khutbah idul adha singkat padat
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/47460-khutbah-idul-adha-hikmah-qurban-kisah-nabi-ibrahim-dan-nabi-ismail/